Jumat, 22 Juli 2011

Tinjauan Pustaka Implementasi Kebijakan

A.  Implementasi Keputusan Menteri Agama Nomor 516 Tahun 2003 Tentang Penyuluh Agama Fungsional

1. Kebijakan  Publik
             Pada dasarnya banyak sekali pengertian tentang kebijakan, hal ini tergantung dari kebutuhan para ahli memandangnya. Kebijakan pada hakikatnya dibuat untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan pemerintahan yang semakin komplek. Dengan melewati proses usulan, perumusan, dan legitimasi sebuah kebijakan pada akhirnya dapat dihasilkan, untuk selanjutnya diputuskan dan dapat dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
           Carl J. Friedrich mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan mengajukan hambatan-hambatan dan peluang terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu (dalam Lubis, 2007: 7). Dijelaskan lebih lanjut bahwa terdapat tiga hal pokok dalam suatu kebijakan, yaitu: a) tujuan (goal), b) sasaran (objectives), dan c) kehendak (purpose). Sedangkan Laswell dan Kaplan melihat kebijakan sebagai ”sarana” untuk mencapai ”tujuan”. Kebijakan tertuang di dalam program yang diarahkan kepada pencapaian tujuan, nilai dan praktek (a projected program of goals, values and practices) (Lubis, 2007: 9). Dikatakan dalam buku yang sama, menurut Said Zanal Abidin penggabungan dua pendapat itu dikemukakan oleh Thomas R Dye yang berpendapat kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk berbuat atau tidak berbuat (to do or not to do). 
Menurut Robert Eyestone (dalam Winarno: 2002: 12), kebijakan publik didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Sedangkan secara konseptual kebijakan publik dapat dilihat dari kamus administrasi publik Chandler dan Plano (1998: 107) yang dikutip Harbani Pasolong dalam teori Administrasi Publik (2008: 38), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya Chandler dan Plano beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk investasi yang kontinyu oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup.
Menurut Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan (Winarno, 2002: 15). Budiardjo (1992: 12) mendefinisikan kebijaksanaan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku dan atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan–tujuan dan cara–cara untuk mencapai tujuan–tujuan ini.
            Beberapa definisi kebijakan secara umum, pada dasarnya kebijakan merupakan serangkaian keputusan beserta cara-cara melaksanakan keputusan tersebut yang dibuat untuk mencapai suatu tujuan. Terlepas dari berbagai definisi kebijakan tersebut, Graycar (dalam Donovan dan Jackson, dalam Keban, 2008: 59), melihat kebijakan sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses dan sebagai suatu kerangka kerja. Berikut penjelasan masing-masing konsep tersebut.
1)      Kebijakan sebagai konsep filosofis, bahwa kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan.
2)      Kebijakan sebagai suatu produk, bahwa kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan dan rekomendasi.
3)      Kebijakan sebagai suatu proses, bahwa kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya.
4)      Kebijakan sebagai kerangka kerja, bahwa kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu implementasi dan metode implementasinya.
            Selanjutnya menurut Richard Rose yang dikutip oleh W Dunn (dalam Keban, 2008: 60) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah, di formulasikan dalam bidang-bidang isu (issue areas) yaitu arah tindakan aktual atau potensial dari pemerintah yang didalamnya terkandung konflik diantara kelompok masyarakat. Konsep ini melihat kebijakan publik sebagai serangkaian pilihan tindakan pemerintah (termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat.
Menurut Isworo (1996: 229), proses kebijakan publik terdiri dari langkah–langkah sebagai berikut :
a.       Identifikasi masalah yang akan mengarah pada permintaan untuk mengatasai masalah tersebut.
b.      Formulasi kebijakan berupa langkah yang dilakukan setelah pemilihan alternatif.
c.       Legitimasi dari kebijakan
d.      Implementasi
e.       Evaluasi melalui berbagai sumber untuk melihat sejauh mana usaha pencapaian tujuan.
Beberapa konsep tersebut memberikan gambaran bahwa kebijakan publik terjadi karena tindakan-tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah yang timbul dalam masyarakat sehingga melahirkan keputusan-keputusan. Riant Nugroho (2006: 23) memaparkan tentang rumusan kebijakan publik sebagai berikut:
  1. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administrator negara, atau administrator publik, hal ini disebabkan karena kebijakan publik berkenaan dengan hubungan antar warga maupun antara warga dengan pemerintah.
  2. Kebijkan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain lembaga administratur publik.
  3. Dikatakan sebagai kebijakan publik jika manfaat yang diperoleh masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya. Konsep ini disebut konsep eksternalitas.
Setelah melihat dari beberapa teori dari para ahli tentang kebijakan publik, maka pada penelitian ini yang dimaksud kebijakan Publik adalah Keputusan Menteri Agama Nomor 516 tahun 2003. Kebijakan ini berisi tentang petunjuk teknis Pelaksanaan Jabatan Penyuluh Agama Fungsional.

2.        Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 516 Tahun 2003
Keputusan Menteri Agama nomor 516 tahun 2003 adalah Kebijakan Menteri Agama yang berisi tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya. Latar belakang  terbitnya KMA Nomor 516 tahun 2003, bahwa sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah nomor 16 tahun 1994 tentang jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil antara lain dinyatakan bahwa untuk meningkatkan mutu profesionalisme dan pembinaan karir Pegawai Negeri Sipil perlu ditetapkan jabatan fungsional.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan peraturan pemerintah tersebut dikeluarkan keputusan presiden nomor 87 tahun 1999 tentang rumpun jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil.  Dalam keputusan presiden tersebut antara lain menetapkan bahwa jabatan penyuluh agama adalah jabatan fungsional Pegawai Negeri yang termasuk kedalam rumpun jabatan keagamaan.
Berdasarkan keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 54/Kep/MK.WASPAN/9/1999 tanggal 30 September 1999, telah ditetapkan jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya. Untuk pengaturan lebih lanjut telah dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 574 tahun 1999 dan Nomor 178 tahun 1999. Dalam Keputusan Bersama ini telah diatur hal-hal yang berkenaan dengan pengangkatan, penilaian dan penetapan angka kredit, kenaikan pangkat, pembebasan sementara, pengangkatan kembali dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan fungsional penyuluh agama.
Untuk mengatur tentang teknis pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 54/kep/MK.WASPAN/9/1999 dan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 574 tahun 1999 dan Nomor 178 tahun 1999 tersebut, maka disusunlah petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional penyuluh agama yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 516 tahun 2003 tentang Petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya. Sebagaimana diterangkan dalam KMA Nomor 516 tahun 2003 bertujuan untuk menjabarkan lebih lanjut Ketetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan kepegawaian Negara untuk menjadi pedoman bagi penyuluh agama dan pejabat lain yang terkait ketentuan tentang jabatan fungsional penyuluh agama.
Petunjuk teknis ini diberlakukan untuk penyuluh agama dilingkungan Kementrian Agama atau instansi lain yang meliputi:
1.    Bidang, kedudukan dan kelompok sasaran penyuluh agama.
2.    Teknis pelaksanaan tugas penyuluh agama
3.    Teknis penilaian dan penetapan angka kredit dan DP. 3 penyuluh agama.
4.    Teknis pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, kenaikan pangkat, pembebasan sementara, pemberhentian dan pemensiunan dalam jabatan fungsional penyuluh agama.
Dalam penelitian ini, penulis akan melihat proses implementasi pelaksanaan tugas penyuluh agama dalam hal administrasi penyuluhan. Adapun administrasi penyuluhan meliputi beberapa hal, yaitu membuat identifikasi data wilayah penyuluhan, membuat rencana/program kerja, membuat konsep materi penyuluhan, membuat evaluasi hasil penyuluhan dan membuat laporan kegiatan bimbingan dan penyuluhan.
3.             Implementasi Kebijakan
Van Meter dan Van Horn (1975) seperti yang dikutip Leo Agustino (2008: 139), memberikan definisi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Dari definisi di atas, Leo Agustino (2008: 139) menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu:
1.      Adanya tujuan atau sasaran kebijakan
2.      Adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan
3.      Adanya hasil kegiatan
Implementasi kebijakan adalah tahap dimana kebijakan yang telah dilegitimasi dilaksanakan oleh unit-unit administrasi tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya. Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternative atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun lebih jauh dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang trlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Menurut Riant Nugroho (2008: 432), implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivasi atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:


Pada Gambar 2. 1,  menjelaskan bahwa Keputusan Menteri Agama No. 516 Th. 2003 tentang petunjuk teknis pelaksanaan Jabatan Penyuluh Agama Fungsional,  merupakan kebijakan yang dapat langsung diimplementasikan. Proses implementasi kebijakan baru akan dimulai apabila tujuan- tujuan kebijakan telah ditetapkan, program pelaksanaan telah dibuat, sumber daya kebijakan seperti dana, sarana dan prasarana pendukung, sumber daya manusia (implementor kebijakan), serta alat kontrol pelaksanaan kebijakan telah ditetapkan dan dialokasikan untuk mencapai tujuan.
Ripley dan Franklin (1986) dalam Parsons (2005: 482) mengatakan bahwa keberhasilan implementasi relatif tidak sulit apabila kebijakannya bersifat distributif, kebijakan regulatifnya moderat, dan kebijakan redistributifnya rendah. Hal ini karena proses implementasi merupakan tahapan yang paling penting dalam keseluruhan proses kebijakan publik, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Chief J. O. Udoji, 1981 dalam Leo Agustino (2008: 140), bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Pentingnya proses implementasi ini antara lain karena dengan telah diimplementasikannya sebuah kebijakan maka akan dapat dilihat proses pelaksanaannya. Setelah itu, dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan evaluasi.
Jadi yang dimaksud dengan implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan Keputusan menteri Agama No. 516 Th. 2003, tentang petunjuk teknis Pelaksanaan Jabatan Penyuluh Agama Fungsional pada tahun 2009, di mana di dalam proses implementasi tersebut merupakan suatu aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelesaian tugas administrasi dan laporan kegiatan bimbingan dan penyuluhan. Dari proses implementasi ini nantinya akan dilihat, apakah implementasi kebijakan sudah sesuai dengan kehendak kebijakan.
4. Model-Model Implementasi Kebijakan
Memperhatikan beberapa pengertian implementasi kebijakan seperti yang diuraikan di atas, untuk mempermudah analisis bagaimana implementasi kebijakan Keputusan Menteri Agama Nomor 516 Tahun 2003 oleh Penyuluh Agama Fungsional di Kantor Kementrian Agama Kota Bandar Lampung, maka diperlukan suatu model implementasi. Dalam kajian kebijakan sosial, model dibuat untuk menjelaskan proses, karakteristik, mekanisme, serta menentukan strategi-strategi kebijakan sosial.
Pada prinsipnya terdapat dua model implementasi kebijakan, yaitu yang pertama, implementasi kebijakan yang berpola ”dari atas ke bawah” (top-bottomer), yakni berupa pola yang dikerjakan pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Kedua, yaitu implementasi kebijakan yang berpola dari ” bawah ke atas” (bottom-topper), yakni meski kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksananya oleh rakyat.

a. Model Implementasi  Donald Van Meter dengan Carl Van Horn (1975)
            Model ini adalah yang paling klasik, dengan mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Proses implementasi merupakan suatu abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel.
Beberapa variabel yang dimasukan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik (Nugroho, 2008: 438) adalah:
1)      Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi.
2)      Karakteristik dari agen pelaksana/implementor.
3)      Kondisi ekonomi, sosial dan politik.
4)      Kecenderungan dari pelaksana/implementor.

b. Model Kerangka Analisis Implementasi (Framework For Implementation      Analysis) dari Daniel Mazmanian dan Paul A. Sebatier (1983)
           
            Model ini mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model implementasi kebijakan ini berada pada kuadran ’puncak ke bawah” dan lebih berada di ”mekanisme paksa” daripada ”mekanisme pasar”. Kedua tokoh tersebut mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel (Nugroho, 2008: 440).
1)      Variabel independen yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2)      Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosioekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmrn dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3)      Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
c. Model George C. Edward III
            Teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards III, mengatakan bahwa implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil. Menurut Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure), dalam http://mulyono.staff.uns.ac.id, Rabu, 29 Maret 2010.
Keempat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.
Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut :

a.  Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Disamping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula.
Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenai maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

b. Sumberdaya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.
Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan.
Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
c. Disposisi atau Sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program ke arah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.
Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
d. Struktur Birokrasi
      Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi implementasi masih bisa gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

d. Model Implementasi Ripley dan Franklin

Di dalam bukuya yang berjudul  Policy Implementation and Bureaucracy dalam Yustianus ( 2008: 19), Ripley dan Franklin menyatakan:  the nation of success in implementation has no single widely accepted definition. Different analists and different actors have very different meanings in mind when they talk about or think about successful implementation. There are three dominant ways of thingking about successful implementation”
Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa tidak ada definisi yang sama yang dapat diterima secara luas tentang bagaimana  melaksanakan implementasi kebijakan yang baik. Aktor pelaku kebijakan (implementor) yang berbeda dengan analisa yang berbeda memberikan arti yang berbeda pula tentang faktor yang mempengaruhi  berhasilnya suatu implementasi kebijakan dilaksanakan.
Menurut Ripley dan Franklin ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu:
  1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur. 
  2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi.
  3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik merupakan wujud keberhasilan implementasi kebijakan
Ketiga perspektif tersebut digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, sehingga menjadi lebih mudah untuk diidentifikasi.  Teori  Ripley dan Franklin ingin menekankan tingkat kepatuhan para implementor kebijakan terhadap isi kebijakan itu sendiri. Setelah ada kepatuhan terhadap kebijakan yang ada, pada tahap selanjutnya melihat  kelancaran pelaksanaan rutinitas fungsi, serta seberapa besar masalah yang dihadapi dalam implementasi. Pada akhirnya setelah semua berjalan maka akan terwujud kinerja yang baik dan tercapainya tujuan (dampak) yang diinginkan.
Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dipakai untuk mengukur apakah tugas pokok organisasi implementor tersebut telah berjalan dengan lancar atau belum. Fungsi selanjutnya dapat untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, yang dapat menghambat lancarnya implementasi sebuah kebijakan.
Pemikiran pokok Ripley dan Franklin dapat digambarkan seperti pada Gambar berikut:

Gambar 2. 2. Implementasi Kebijakan Model Ripley dan Franklin


e.  Model Michael Lipsky (1980)
Michael Lipsky termasuk pendukung implementasi model bootom-up. Dalam teori buttom-up ini, yang benar-benar perlu diperhatikan adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bootom-up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsesus (Parson, 2005: 469). Hal ini melibatkan dua konteks atau lingkungan, yaitu keahlian manajemen dan kultur organisasi yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Dalam buku yang sama, dijelaskan bahwa model implementasi Lipsky adalah sesuatu yang melibatkan pengakuan bahwa organisasi mengandung keterbatasan manusia dan organisasional, dan bahwa manusia dan organisasi itu harus dianggap sebagai sumberdaya. Implementasi yang efektif adalah sebuah kondisi yang dapat dibangun dari pengetahuan dan pengalaman dari orang-orang yang ada di garis depan pemberi pelayanan. Model ini menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. 
Implementasi suatu kebijakan melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana khususnya pelaksana di tingkat lapangan agar bersedia melaksanakan kebijakan dengan baik. Birokrat pelaksana inilah yang oleh Lipsky disebut sebagai “street level bureaucrats” (dalam http://www.amazon.com/Street-Bureaucracy-Publications-Russell-foundation, diambil pada 20 april 2010).  Lebih lengkapnya, Lipsky mendefinisikan street level bureaucrats sebagai para pekerja pelayanan publik yang berinteraksi secara langsung dengan warga masyarakat yang menjalankan pekerjaan mereka dan mempunyai keleluasaan substansial dalam menjalankan tugasnya tersebut (Shafritz, dkk, 2005: 52), selanjutnya Lipsky menunjukkan bahwa mereka juga harus dilihat sebagai bagian dari komunitas pembuatan kebijakan, karena sebagai pemberi layanan publik, pemberi manfaat dan penjaga ketertiban publik, birokrat level bawah ini sering menjadi kontroversi politik. Biasanya mereka dihadapkan pada tuntutan peningkatan kualitas pelayanan dari masyarakat. Birokrat level bawah ini menjembatani aspek-aspek konstitusional hubungan antara warga negara dengan negara (pemerintah). Ini artinya, para birokrat level bawah memegang kunci dalam dimensi kewarganegaraan.
Di dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1976, Lipsky berpendapat bahwa untuk memahami secara lebih baik interaksi antara pemerintah dan warganya di tempat di mana pemerintah dan orang tertentu dengan menunjukkan faktor-faktor umum dalam perilaku birokrasi di lapangan ( Parson, 2005: 469). Selanjutnya Parson menunjukkan bahwa ada pola tertentu dalam interaksi ini, bahwa terdapat kontinyunitas yang dapat diamati, yang berada di luar birokrasi individual, dan terdapat kondisi tertentu di lingkungan kerja birokrasi ini yang tampaknya relatif menonjol dalam membentuk interaksi antara birokrat dengan warga negara.  Asumsi ini menunjukkan bahwa di lapangan, birokrat/pegawai tidak dapat merespon permintaan pelayanan yang baik dari klien atau masyarakat. Birokrat tingkat lapangan merespon tekanan pekerjaan dengan sedemikian rupa, sehingga betapapun tekanan itu dapat dipahami dan maksudnya baik ini akan dapat menimbulkan efek yang mencoreng citra dan kinerja pemerintah di mata masyarakat. Jika pemerintah dipandang penting oleh warga masyarakat dan memiliki banyak interaksi dengan ”perwakilan-perwakilanya” dan interaksi itu mungkin menimbulkan konsekuensi penting bagi kehidupan mereka, maka akan dibutuhkan desentralisasi kekuasaan. Lipsky merekomendasikan, apapun manfaat ataupun kesulitannya, usulan desentralisasi ini menitikberatkan pada perubahan fundamental dalam lingkungan kerja para birokrat di lapangan (Parson, 2005: 469).
Desentralisasi implementasi kebijakan menuntut adanya diskresi, yaitu ruang gerak bagi individu pelaksana (implementor) di lapangan untuk memilih tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila menghadapi situasi khusus, misalnya apabila kebijakan tidak mengatur atau tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, karena kebijakan adalah mati dan masyarakat adalah hidup, sehingga dibutuhkan penyesuaian implementasi kebijakan di lapangan. Dengan kata lain bahwa suatu kebijakan tidak mungkin mampu menjawab semua persoalan akibat adanya keterbatasan prediksi dalam perumusan kebijakan. Diskresi dilakukan oleh implementor dalam bentuk memberikan kelonggaran ”pelayanan” kepada klien atau masyarakat apabila masih sejalan dengan visi dan misi organisasi. Diskresi dalam birokrasi meliputi serangkaian tindakan yang dilakukan pelayan publik yang merepresentasikan adanya pelayanan berdasarkan inisiatif, kreativitas dan kemampuan aparat secara efisien dimana tidak terlalu bersandar pada kebijakan secara kaku.
Kemungkinan diskersi terdapat pada implementasi kebijakan KMA No. 516 Tahun 2003, karena klien Penyuluh Agama Fungsional adalah masyarakat yang heterogen. Pada masyarakat yang heterogen dan bervariasi dari segi, ekonomi, pendidikan, usia, pekerjaan, jenis kelamin, strata dan lain-lain, dibutuhkan penerapan implementasi yang berbeda pula, karena masing-masing kelompok adalah khas, yang membutuhkan metode, media, materi dan waktu yang berbeda.
Penelitian ini akan melihat kinerja pelayan publik pada level bawah (street level bureaucrats) yang dalam hal ini pelaksananya adalah Penyuluh Agama Fungsional dalam mengimplementasikan Kebijakan KMA No. 516 Th. 2003 dilihat dengan menggunakan teori Lipsky. Cara yang digunakan adalah dengan melihat unsur kepatuhan implementor terhadap isi kebijakan, lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi implementor dan dampak/kinerja yang dicapai dengan menggunakan teori Ripley and Franklin, model ini dipilih karena peneliti ingin melihat keberhasilan implementasi kebijakan KMA No. 549 Th. 2003.
5.    Implementasi Kebijakan Keputusan Menteri Agama Nomor 516 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Teknis Penyuluh Agama Fungsional di  Kantor Kementrian Agama Kota Bandar Lampung  Tahun 2009.
      
            Awal munculnya kebijakan adalah berawal dari adanya masalah, tuntutan, atau bentuk pertanggung jawaban yang perlu diselesaikan atau direalisasikan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bessant, dkk (Suharto, 2007: 11), bahwa: ”kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif), dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya”.
             Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 516 tahun 2003, mengatur tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan angka kreditnya. Pada BAB II dijelaskan bahwa Penyuluh Agama adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan Penyuluh Agama adalah Penyuluh Agama Fungsional pada Kantor Kementrian Agama (dahulu Departemen Agama), yang berkedudukan pada kantor Kementrian Agama Kota Bandar Lampung, yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam melakukan kegiatan bimbingan, penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama pada kelompok sasaran masyarakat yang berada dalam wilayah dan instansi dalam lingkungan kota Bandar Lampung.
Penyuluh Agama fungsional selaku pegawai di Kantor Kementrian Agama Kota Bandar Lampung, merupakan implementor kebijakan KMA No. 516 Tahun 2003, tentang penyuluhan  agama. Jadi, sukses tidaknya kebijakan KMA No. 516 Tahun 2003 dilaksanakan, salah satunya tergantung pada kinerja Penyuluh Agama Fugsional tersebut.

B. Kerangka Pemikiran
            Terkait penelitian ini yang mengkaji implementasi kebijakan Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 516 tahun 2003, mengatur tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan angka kreditnya, maka peneliti akan terfokus pada implementasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan agama oleh Penyuluh Agama Fungsional. Dari seluruh rangkaian implementasi, peneliti akan membatasi penelitian pada bidang administrasi dan laporan bimbingan dan penyuluhan selama tahun 2009 yang akan dikaji dengan menggunakan teori Ripley dan Franklin, dengan menghubungkan tugas yang telah ditetapkan dalam kebijakan berupa  membuat identifikasi data wilayah penyuluhan, membuat rencana/program kerja, membuat konsep materi penyuluhan, membuat evaluasi hasil penyuluhan,  dan membuat laporan bulanan kegiatan bimbingan dan penyuluhan yakni dengan melihat tingkat kepatuhan, lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi serta kinerja dan dampak yang diharapkan. Pelaksanaan ketiga dimensi tersebut dengan melihat peran sumberdaya di tingkat street level bureaucrats yakni penyuluh agama sesuai dengan teori Lipsky. Dengan melihat proses implementasi dan penelitian kepada penyuluh agama serta melihat dampak pada masyarakat binaan, maka akan terlihat faktor-faktor yang berperan dalam implementasi kebijakan.
Penggunaan model dalam penelitian ini hanya menjadi acuan saja, karena tidak menutup kemungkinan terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan ini.  Setelah semua faktor-faktor yang berperan dalam implementasi kebijakan diketahui, maka dapat dijadikan umpan balik (feed back) bagi implementasi kebijakan kedepannya.
 Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat paga Gambar 2. 3:






Gambar 2. 3: Kerangka Pikir Implementasi Kebijakan KMA No. 516 Th. 2003

3 komentar:

  1. terimakasih tulisannya, tapi bisa nggak kalau bahas tentang teori ripley&franklin nya secara lebih mendalam ? :)

    BalasHapus
  2. bisa gak minta info soal bahasan tentang teori ripley&franklin nya secara lebih mendalam, dan lampiran daftar pustaka berkaitan dengan teori ripley& franklin...terima kasih dan mohon balasannya :)
    Balas

    BalasHapus
  3. bisa gak minta info soal bahasan tentang teori ripley&franklin nya secara lebih mendalam, dan lampiran daftar pustaka berkaitan dengan teori ripley& franklin...terima kasih dan mohon balasannya :)
    Balas

    BalasHapus

Trimakasih untuk koment yg bersifat positif.